Kamis, 21 November 2013

Demonstrasi Seharusnya tidak di Akhiri dengan Anarkis






Beberapa orang mengatakan bahwa Demonstrasi terjadi ketika orang lapar. Lapar karena kekurangan makanan, pengetahuan, dan bahkan kekuasaan. Demonstrasi menjadi sangat tragis dan mematikan. Kebanyakan demonstrasi terjadi ketika sekelompok besar orang tidak puas dengan keadaan tertentu ,dengan orang atau sekelompok orang.

Respon masyarakat, sangat bervariatif soal rencana pemerintah yang akan menaikkan harga BBM mulai dari yang masih buta info soal kenaikan harga BBM ini yang tidak terlalu merespon hingga kepada mereka yang bersikap reaktif dan tergerak untuk menyampaikan aspirasi mereka berupa ketidaksetujuan atas rencana kenaikan harga BBM tersebut. Sehingga tak heran jika penulis diingatkan oleh rekan untuk tidak melewati daerah di sekitar jalan-jalan yang ada di pelosok kota Indonesia. Karena sekelompok massa sedang menggelar aski demo besar-besaran.

Mendengar hal tersebut. Tentunya sah- sah saja kita berpikir sebagai warga Negara Indonesia, yang diberi kebebasan untuk menyampaikan aspirasi. Baik melalui tulisan atau bahkan dengan cara berdemonstrasi, berorasi, atau dengan istilah lainnya; berunjuk rasa. Namun sering disayangkan, dari sekian banyak aksi-aksi yang digelar dengan berbagai gemelut politik di Tanah Air, tidak semuanya berjalan damai dan lancar. Bagaimana jadinya dengan aksi protes yang selalu berakhir anarki? Mengapa harus demikian dan apakah hal tersebut juga disah-sahkan saja?

Indonesia menganut sistem pemerintahan Demokrasi. Menurut ensiklopedia Wikipedia, “Demokrasi berarti suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan, dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahaan.

Melalui demokrasi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.” Disebutkan lagi di halaman wikipedia, “Bagi Gus Dur, landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia inginkan.” Sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap warga negaranya dapat secara bebas berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapatnya di depan umum (vide: Pasal 28 E Undang Undang Dasar 1945).

Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya. Sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi pemerintahan sesuai dengan kehendaknya. Oleh karena itu, hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyatnya.

Menyimpang sedikit dari cerita kenaikan harga BBM bersubsidi ini, tentunya masih segar diingatan kita bagaimana peristiwa mengenaskan yang menimpa Brigadir Ricardo Sitorus dan Brigadir Siregar. Semula korban yang sedang bertugas dalam operasi penangkapan bandar judi togel di desa Laubekeri. Namun naas karena dikira maling, dua dari lima anggota polisi berhasil ditangkap warga kemudian dianiaya dan dibakar bersama dengan mobil Kijang yang dipakai oleh anggota polisi tersebut. Tak ayal karena kesal, masyarakat yang ketika sudah digelapkan emosi, anarkisme pun berpihak kepada warga daripada menyerahkannya kepada pihak yang berwajib. Sungguh tragis adanya ketika nyawa melayang karena kesalahfahaman. (sumber:okezone.com)

Demonstrasi Ataukah Anarkisme ? 

Namun, kenyataan di lapangan jalannya aksi demokrasi kerap kali tidak sejalan dengan kebebasan mengeluarkan pendapat di muka umum sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi Indonesia Pasal 28E ayat (3). Kebebasan mengeluarkan pendapat yang dimaksudkan dapat berbentuk ungkapan, penyataan di muka umum atau dalam bentuk tulisan hingga dapat juga berbentuk sebuah aksi unjuk rasa atau demonstrasi ini sering menimbulkan permasalahan dalam tingkat pelaksanaannya sehingga telah menyimpang dari nilai demokrasi itu sendiri. Padahal demokrasi bukanlah kekerasan. Substansi demokrasi tidak menghendaki anarkisme.

Aksi unjuk rasa seringkali terkesan (harus) berakhir menjadi aksi yang anarki berupa pelemparan, kejar-mengejar dengan petugas kepolisian, pembakaran, perampokan, penjarahan, bahkan yang lebih parah memakan korban jiwa. Ketika aksi demonstrasi sudah berbau unsur politik, maka kerap kendaraan-kendaraan berplat merah selalu menjadi favorit aksi kekerasan yang tak luput dari tindakan berupa pembakaran dan pengrusakan.

Banyak pihak yang dirugikan terutama kerugian material yang tidak sedikit karena mobil dinas-dinas berplat merah tersebut dibeli menggunakan uang rakyat tapi dirusak kembali oleh rakyat. Dan ketika penulis melihat suatu tayangan berita disalah satu siaran TV swasta, Kamis, 27 Maret 2012. Bagaimana situasi menyambut kenaikan harga BBM. Suatu peristiwa demonstrasi yang berakhir ricuh. Beberapa mahasiswa dan oknum polisi terluka. Tidak pernahkah kita sebagai insan bangsa merenungkan sendiri, mengapa setiap kali keputusan politik itu dibuat oleh “mereka yang di atas”, keamanan dan keselamatan “rakyat kecil” yang harus dikorbankan?

Pihak kepolisian kembali yang harus siap siaga, jiwa dan raga menghadang para demonstran yang semata-mata dapat berubah anarkisme bagaikan dalam medan pertempuran. Dengan berpikir dari sisi masyarakat umumnya, bukankah yang dilempari itu saudara-saudara kita sesama anak bangsa Indonesia juga. Pembuat keputusan juga tidak berada di tangan mereka. Mahasiswa yang kerap tampil pertama memperjuangkan hak-haknya dalam berdemokrasi, dengan status “Maha” beserta berbagai gelar yang disandangkannya. Tentunya mereka seharusnya tahu betul bagaimana aksi demokrasi yang seharusnya yang dijamin dalam konstitusi Negara kita.

Jadi, sekilas terlintas di benak, sekiranya apakah dengan aksi lempar-melempar batu dengan sasaran empuk sekawanan polisi, aspirasi secara tidak langsung sudah tersalurkan dan rencana kenaikan harga BBM esoknya akan langsung dicabut? Kenyataannya berlangsungnya aksi demonstrasi hanya akan memicu perasaan takut dari para pengendara melintas di kawasan yang tempat massa sedang berorasi hingga masyarakat yang bermukim di sekitar lokasi. Karena takut menjadi salah sasaran peluru dan batu nyasar yang dilancarkan kedua kubu. Masyarakat lebih memilih menutup toko, atau bahkan memilih jalan alternatif lain demi alasan keselamatan daripada menjadi saksi demonstrasi.

Bagaimana Demonstrasi, Sebaiknya? 




Aksi demonstrasi yang kerap menentang suatu kebijakan baru yang dibuat memang tidak selalu akan berjalan damai. Jika dibandingkan aksi damai para aktivis yang menyambut beberapa hari penting seperti: World Day, Hari AIDS sedunia.

Terkait dengan penyanderaan truk pengangkut BBM oleh Mahasiswa. Hanya karena topik yang diisukan berhubungan dengan Bahan Bakar, bukan berarti truk pengangkut BBM yang harus menjadi korban. Sang sopir bukan pengambil keputusan ini pun harus bersikap was-was. Hal ini tentu sudah mengusik perasaan kondusif di tengah-tengah masyarakat. Terlebih lagi jika pesan dari para demonstran tidak kesampaian kepada pihak yang dituju, maka property negarapun tidak pernah luput dari sasaran kekerasan; pagar pembatas dirubuhkan; saling dorong dengan petugas. Paling tidak, aksi bakar ban bekas juga menjadi ikon tersendiri selama menjalankan aksi.

Singkat tulisan, memang aksi demonstrasi yang kerap terjadi, bukan hanya di Indonesia, juga di negara-negara lainnya tidak pernah luput dari anarkisme. Bahkan lebih mengerikan adanya. Tetapi tidak dapatkah kita menciptakan suasana demonstrasi yang memang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi ? Dengan demikian, selama menyampaikan pendapatnya, umumnya masyarakat tidak merasa terusik ketenangannya, dapat menjalankan aktivitas-aktivitasnya sembari sadar bahwa Mahasiswa sekalian telah mewakilkan aspirasi sebagian masyarakat Indonesia yang menentang kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM tersebut. Tidak ada aksi pelemparan, pembakaran ban bekas. Bukankah negara ini lagi sedang giat-giatnya menjalankan program “Go Green”. Apalagi aksi unjuk rasa tersebut melibatkan mahasiswa, yang seharusnya memiliki orientasi yang jelas sebelum melakukan demonstrasi.

Agar mahasiswa tidak dimanfaatkan kepentingan politik tertentu. Mahasiswa harus memiliki analisis yang tajam melihat kondisi negara. Sehingga mampu memberikan solusi atas permasalahan bangsa. Tidak hanya sekadar demonstrasi. Apalagi menjurus kearah kekerasan.Sebaiknya demonstrasi tidak ada sesama anak bangsa yang terluka dan dirugikan.

Tidaklah kita harapkan pemandangan rakyat berperan langsung menyampaikan aspirasinya sendiri dengan aksi mogok dan pendudukan beberapa titik seperti yang pernah terjadi di negara Gajah Thailand. Sehingga mau tak mau pemerintah terkesan “mendengarkan” dan bertindak dengan terpaksa.

“Menurut pendapat saya masalah yang terjadi saat ini kita anggap sebagai pelajaran bahwa demonstrasi bukanlah harus berakhiran anarkis. Dan seharusnya demonstrasi adalah mendemo untuk memperjuangkan hak rakyat ataupun dalam hal yang menyangkut tentang social bukan dengan untuk memperjuangkan hak pribadinya sendiri, seharusnya mendemo dalam hal yang positif tidak harus diakhiri dengan anarkis. Contohnya mendemo tentang global warming, atau tentang mengharapkan kebebasan palestina yang terus diserang oleh Israel itu namanya demo untuk kepedulian social. Di sadari atau tidak. Kebebasan berekspresi yang terjadi saat ini. Telah menimbulkan pemahaman keliru. Melenceng dari yang sebenarnya. Pemahaman yang selama ini berkembang, bahwa pada masa reformasi, kebebasan dikeluarkan sebebas-bebasnya sesuai dengan kehendak masing-masing individu, tanpa ada pembatasan apapun. Hal tersebut malah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memperjuangkan hak pribadi ketimbang orang lain karena telah diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat tanpa ada batasan.” 

DEMONSTRASI BOLEH TAPI APA HARUS ANARKIS?